MacBook vs Windows: Kenapa Banyak Anak Muda Sekarang Lebih Suka MacBook?
Setelah beberapa minggu pakai MacBook Air, saya mulai paham alasan kenapa sekarang banyak orang, terutama anak muda, pilih MacBook buat kerjaan simpel sehari-hari. Saat ini saya pakai dua laptop. Satu Lenovo Ideapad Flex 5 dengan processor Inter i7–1255U dari kantor — laptop oke punya, bukan laptop sembarangan, keluaran 2020. Satu lagi MacBook Air M1 keluaran 2020 juga. Memang bukan model flagship, tapi juga bukan yang murahan. Sudah tiga generasi di bawah yang terbaru (M4), tapi performanya masih impresif.
Selama ini, laptop saya biasanya dipakai untuk kerja dan gaming. Tapi sejak punya PC, laptop sepenuhnya untuk kerja, sementara gaming full di PC. Nah, di situ letak turning point saya. Selama ini saya kira laptop Windows sudah setara atau bahkan unggul di beberapa aspek dibanding MacBook, terutama dalam hal efisiensi dan kenyamanan pakai. Nyatanya, saya salah.
Laptop Windows dengan prosesor X86_64 sepertinya sudah mulai terasa tertinggal dalam kondisi penggunaan saat ini, di mana kebiasaan kita sekarang sudah sangat terpengaruh oleh ponsel. Lho, ponsel? Ya, coba ingat-ingat, seberapa sering kamu isi daya ponsel? Kalau baterainya sehat, sekali sehari sudah cukup, kan? Ponsel pun jarang di-shutdown — paling hanya standby, cukup dibuka dan langsung aktif lagi. Nah, konsep inilah yang Apple coba bawa ke lini MacBook dengan prosesor M-series mereka.
Apple ingin laptopnya cukup diisi daya sekali sehari, bisa bertahan sepanjang hari tanpa perlu khawatir baterai cepat habis. Ketika tidak digunakan, tinggal tutup saja; MacBook hanya standby, ngga benar-benar mati. Begitu mau pakai lagi, tinggal buka atau tekan tombol, langsung balik ke posisi terakhir. Apple sendiri mengklaim MacBook Air M1 bisa bertahan hingga 18 jam untuk penggunaan browsing dan tugas ringan — nyaris dua kali lipat daya tahan rata-rata laptop Windows di kelasnya, yang biasanya berkisar antara 8–10 jam.
Hal ini yang masih belum bisa dilakukan laptop Windows secara konsisten, bahkan untuk laptop non-gaming. Sekarang memang Microsoft dan produsen laptop Windows mulai menyadari kebutuhan ini dan mulai beralih ke prosesor ARM juga, seperti Snapdragon terbaru dari Qualcomm. Sebab, dengan X86_64 biasa, sulit mengoptimalkan daya tahan baterai sekaligus kecepatan startup yang responsif. Prosesor X86_64 yang katanya “efisien” seringkali harus mengorbankan performa. Di sinilah keunggulan ARM-based processors seperti Apple M1 dan Snapdragon X muncul: daya tahan baterai lebih awet, performa tetap prima.
Dari pengalaman pribadi, saya pernah coba bandingkan laptop Windows dengan Snapdragon dan Intel i7 terbaru saat buka Excel dan PowerPoint. Hasilnya, aplikasi lebih cepat terbuka di Snapdragon.
Kembali ke keseharian pakai dua laptop ini. Simpelnya, buat nyalain dan matiin MacBook, cukup tutup layar. Gak perlu khawatir apakah benar-benar sleep atau ngga, atau takut malah butuh startup lagi. Tapi di laptop Windows, langsung tutup layar dan masuk sleep bisa bikin ragu, kadang takutnya ngga sleep sempurna dan malah panas karena mesinnya masih nyala. Pas buka kembali juga kadang ada delay.
Ditambah lagi, MacBook bisa nyaman dipakai di mana saja — mau di permukaan rata, miring, bahkan di kasur atau selimut, ngga masalah karena ngga butuh kipas. Menurut Apple, desain tanpa kipas ini memungkinkan MacBook Air tetap sejuk tanpa suara berlebih, bahkan saat dipakai intensif, dibandingkan laptop Windows yang kipasnya sering berisik ketika dibebani tugas yang sama.
Nah, dari sini saya paham kenapa sekarang makin banyak orang suka MacBook. Apalagi dengan harga yang semakin bersaing. Di Indonesia, harga MacBook Air M1 dan M2 sekarang relatif terjangkau untuk kalangan mahasiswa atau profesional muda, membuatnya kompetitif dibandingkan laptop Windows di kelas menengah atas. MacBook Air M1 bisa didapat dengan harga 10–11 jutaan, M2 di angka 13–15 jutaan, sementara M3 mulai dari 17 jutaan.
Jadi, sekarang saya tahu kenapa.